Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun
Oleh Sapariah Saturi dan Andi Fachrizal, April 15, 2013 10:32 pm
April 2013, mungkin menjadi hari penting bagi Aleta Baun. Pada bulan
ini, mama Aleta, begitu biasa disapa, menerima penghargaan The Goldman
Environmental Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat.
Penghargaan ini diberikan oleh tokoh masyarakat dan dermawan, Richard N.
Goldman dan istri, Rhoda H. Goldman untuk mendukung orang-orang yang
berjuang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman. Ia juga diberikan
kepada figur-figur yang mengilhami orang-orang biasa untuk mengambil
tindakan-tindakan luar biasa dalam melindungi alam di dunia ini.
Penghargaan ini sangat layak bagi mama Aleta, atas perjuangan
mempertahankan lingkungan dari cengraman tambang di Gunung Mutis, Molo,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Gunung Mutis, memiliki keragaman hayati
tinggi. Ia merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor
Barat, yang memasok air minum dan air irigasi bagi penduduk di pulau
itu. Tak hanya itu, masyarakat mencari makanan dan obat-obatan dari
hutan, dan menanam hasil bumi di tanah subur itu. Bahkan, pewarna alami
tenunan diperoleh dari tumbuh-tumbuhan alam ini. Hubungan spiritual
warga dan lingkungan begitu kuat. Tak heran, kala alam hendak diganggu,
penolakan muncul. Mama Aleta, tampil menjadi motor penggerak.
Sejak 1996, mama Aleta berjuang. Dia menjadi ‘musuh’ perusahaan
maupun pemerintah daerah, saat itu. Nyawa terancam. Mereka menawarkan
hadiah pada siapapun yang dapat membunuh Mama Aleta. Bersyukur, dia
selamat dari usaha percobaan pembunuhan. Mama Aleta lari menyembunyikan
diri di dalam hutan bersama sang bayi. Warga lain yang terus berjuang
ditahan dan dipukuli. Namun, mereka tetap gigih berjuang. Mama Aleya
tetap mengorganisir ratusan warga desa aksi damai, menduduki
tempat-tempat penambangan marmer. Mereka protes sambil menenun. Berkat
perjuangan gigih itu, pada 2007, Mama Aleta dan warga berhasil
menghentikan perusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis.
Perusahaan-perusahaan tambang itupun hengkang.
Tambang sudah tak ada. Kini, Mama Aleta bersama berbagai komunitas di
seluruh wilayah Timor Barat memetakan hutan adat mereka. Ini untuk
melindungi tanah-tanah adat dari jamahan tangan-tangan perusak di masa
depan. Mama Aleta juga memimpin berbagai usaha untuk menciptakan
berbagai peluang ekonomi baik dengan pertanian ramah lingkungan dan
bertenun. Baru saja, pada Maret 2013 ini, kelompok-kelompok tenun ini
menemukan ‘resep’ baru warna-warna alami dari beragam tumbuhan.
Guna mengetahui kisah perempuan pejuang lingkungan ini, berikut ini
wawancara dengan Mama Aleta, pada dua kesempatan, menjelang penerimaan
penghargaan dan awal April 2013, di sela-sela acara Meet the Makers di Jakarta. Berikut petikannya.
Mongabay Indonesia: Bisa diceritakan bagaimana perjuangan mama Aleta, bersama warga menolak tambang?
Mama Aleta: Sejak 1980-an, pemerintah mengeluarkan
izin-izin tambang batu marmer di Molo. Warga tidak tahu. Perusahaan
masuk hutan, tebang pohon. Bencana datang, tanah longsor, sampai
pencemaran air. Perusahaan terus membabat hutan dan memotong batu marmer
dari gunung. Ini ancaman bagi kami, karena dari sana kami hidup. Kami
hidup dari alam. Mulai 1999, sejumlah kecil perempuan dan saya
memutuskan kami harus bertindak untuk menghentikan penambangan. Kami
merasa satu-satunya cara dengan pergi dari satu rumah ke rumah lain.
Dari satu desa ke desa lain dan menjangkau sebanyak mungkin orang untuk
menyampaikan pesan kami. Rumah-rumah dan desa-desa terletak berjauhan.
Kadang kami harus berjalan enam jam untuk mencapai desa satu ke desa
lain. Kami meyakinkan orang-orang untuk bergabung. Kami ingatkan mereka
akan keyakinan kami tidak akan dapat hidup tanpa semua unsur-unsur dari
alam. Kami juga menekankan pada para perempuan bahwa hutan
menganugerahi kami dengan zat-zat pewarna tenun. Ini bagian penting
dalam hidup kami.
Perjuangan berat. Kami menghadapi intimidasi dengan kekerasan. Namun,
gerakan terus jalan sampai ratusan warga desa ikut. Sampailah pada aksi
pendudukan sambil menenun sekitar 150 perempuan. Ini sekitar satu tahun
di lokasi penambangan marmer. Perempuan punya alat-alat tenun, kapas
dan pewarna dari alam. Kami pun protes dengan menenun pakaian
tradisional. Hutan kami tak boleh rusak. Kalau rusak, perempuan tak bisa
beraktivitas. Itu tempat kami cari makanan, bikin pewarna benang sampai
obat-obatan. Jadi harus kami pertahankan.
Mongabay Indonesia: Kapan perjuangan mulai menampakkan titik terang dan perusahaan hengkang?
Mama Aleta: Saat protes sambil menenun, warga pun
makin banyak yang ikut mendukung. Kami terus berjuang, meminta pada
pemerintah agar cabut izin. Meminta perusahaan tak rusak hutan kami.
Pada 2007, mulai ada hasil. Aksi-aksi warga mulai jadi perhatian
pemerintah. Memang perjuangan panjang. Pada 2010, karena menghadapi
tekanan perusahaan pertambangan berhenti. Ada empat pertambangan di
Molo, semua berhenti.
Mongabay Indonesia: Apakah izin-izin perusahaan itu dicabut pemerintah?
Mama Aleta: Saya tidak tahu pasti. Karena pemerintah
kacau, sama saja dengan perusahaan, jadi saya tidak tahu, apakah itu
izin dicabut atau tidak. Tetapi kami tahu, tambang itu tidak ada operasi
lagi karena kami terus menolak.
Mongabay Indonesia: Saat para perempuan menduduki kawasan tambang sambil menenun, bagaimana peranan pria Molo mendukung gerakan ini?
Mama Aleta: Dalam kebudayaan Molo, kaum perempuan
diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga. Namun saat
kami protes, kaum perempuan sadar mereka dapat melakukan lebih banyak.
Kaum perempuan juga pemilik tanah yang sah dalam kebudayaan Molo. Hak
ini kami bangkitkan kembali bagi kaum perempuan yang saat itu belum
aktif mengungkapkan pendapat guna melindungi tanah mereka. Suku adat
Molo yakin, amatlah penting bagi kaum perempuan berada di garis depan
protes dan berperan sebagai juru perunding. Kamilah yang memanfaatkan
hutan untuk bertahan hidup. Kaum pria mendukung kami, namun tidak
menempatkan diri di garis depan karena kemungkinan besar mereka akan
terlibat dalam perkelahian atau konflik dengan perusahaan-perusahaan
pertambangan dan menjadi target serangan-serangan. Jadi, saat perempuan
aksi, para pria yang berperan di rumah tangga, dari memasak sampai
menjaga anak-anak.
Mongabay Indonesia: Sekarang tambang sudah pergi,
perempuan terus mengembangkan tenun sebagai warisan budaya dan sumber
ekonomi. Bagaimana perkembangan kegiatan menenun saat ini?
Mama Aleta: Saat ini makin banyak perempuan yang
ikut menenun. Namun, sempat ada ketergantungan dengan benang-benang
kota, benang-benang produksi dari perusahaan besar. Jadi, penenun
tergantung dari perusahaan.
Mongabay Indonesia: Bagaimana menyikapi ketergantungan dari benang ‘kota’ ini?
Mama Aleta: Saya terus yakinkan semua sudah ada
disediakan, dari benang sampai warna dari alam di daerah kami. Lalu,
mulailah kami membuat benang dari kapas. Kami juga berusaha membuat
warna-warna alami. Sebelumnya sudah ada warna-warna warisan orang-orang
tua kami, tapi kami terus mencari temuan-temuan warna lain. Mulai Maret
tahun ini kami bikin tenunan dari benang buatan sendiri dan warna-warna
alam.
Mongabay Indonesia: Bisa diceritakan penemuan warna-warna alami hasil uji coba itu?
Mama Aleta: Sebenarnya ini eksperimen sejak lama,
tapi mulai digerakkan kembali awal tahun ini. Cukup stres juga coba-coba
cari warna yang pas, dengan tanaman apa saja, dan komposisi bagaimana.
Sekitar tiga minggu kami coba-coba. Akhirnya, Maret 2013 ini kami bisa
temukan. Ini ada coklat tua dari tanaman matani, coklat dari angkai,
daun kesum untuk warna orange. Kiss kase untuk pink, hijau dari daun
suji dan kacang hutan. Lalu, merah dari kulit pohon nila.
Mongabay Indonesia: Setelah perjuangan panjang ini, apa harapan Mama Aleta?
Mama Aleta: Harapan saya, para perempuan kembali
pada pengetahuan lokal yang dimiliki dan mencintai lingkungan. Kepada
pemerintah, saya berharap agar mampu mengembangkan produk-produk
tradisional rakyat yang tak menghancurkan lingkungan dan alam.